Suatu siang ketika saya sedang ngadem di bawah pohon itu, seorang ibu tua dengan menggandeng cucunya berjalan menghampiri. Dia menyapaku saat sampai di dekatku “ Assalaamualaikum, pak!” “Wa’alaikum salaam.. “ sahutku. Seterusnya terjadi perbincangan singkat sekedar berbasa basi. Akhirnya si ibu tua memberanikan diri menyapaikan maksudnya, “ Pak maaf, apakah saya boleh minta buah itu ?” sambil meunjuk ke atas. “ Oh silahkan Ibu” sahutku. “ Mau untuk apa Ibu” sambungku bertanya. “ Kepingin nyicipin, bagaimana ya rasanya?” jawab si Ibu. Saya terdiam, ada rasa kasihan, geli, bingung bercampur aduk. Pelan pelan aku jelaskan ke Ibu itu “ Maaf ibu, pohon ini namanya pohon bintaro, buahnya memang mirip mangga bu, tapi buahnya nggak bisa dimakan. Tadi ketika ibu minta saya iyakan karena saya pikir ibu perlu bijinya yang sudah tua untuk di tanam.” Si Ibu tua pun berpamitan dan pergi, nampak gurat kecewa (dan mungkin malu). Sejak saat itu Saya memutuskan untuk menebang pohon itu dan menggantinya dengan pohon buah, yang lebih bermanfaat.
Akhirnya pohon jambu air hijau (Cincalo) yang saya pilih untuk pengganti. Saya sengaja menebang pohon bintaro itu sendiri sambil mengisi waktu luang sore hari. Alhamdulillah dengan sebilah golok akhirnya pohon itu tumbang. Tetangga sebelah rumah saat melihat aku menebang pohon bertanya, apa engggak sayang pohonnya di tebang, kan jadi panas. Memang betul sejak pohon itu ditebang rumah jadi panas, tapi Insya Allah akan tergantikan oleh pohon jambu nantinya. Pekerjaan terberat di depan mata adalah mencabut tonggak pohon bintaro yang sudah cukup besar. Sudah barang tentu akarnya besar besar dan tertancap kuat dan dalam di tanah. Bagaimanapun harus tercabut, karena di situlah si jambu air sebagai tanaman pengganti harus di tempatkan (maklum space terbatas).
Dengan berbekal peralatan seadanya, sebilah golok dan sebatang linggis saya mulai menggali pokok pohon di sore keesokan hari setelah pohon roboh. Sedikit demi sedikit tanah di sekitar mulai terbongkar, keras sekali. Satu per satu akar pohon pun mulai kelihatan dan satu per satu saya tebas dengan golok. Sering kali linggis berbunyi “crang…” pertanda beradu dengan batu. Batu batu itupun harus di bongkar. Sulit memang. Ketika sedang asyik menggali tonggak pohon, setidaknya ada empat orang yang lewat dan memberikan komentar. Orang pertama bilang “ Pak, pohon bintaro itu akarnya banyak dan kuat, susah untuk diambil tonggaknya”. Yang kedua : “ Wah kalo hanya dengan linggis kecil begitu, mana mungkin biasa keambil, harus dengan cangkul dan itu susah sekali.” Yang ketiga : “Kalau mau nyabut itu harus pakai katrol pak, kalau pakai linggis gitu enggak bakalan kecabut.” Dan yang terakhir : “ Kalau galinya model gitu juga paling cepat seminggu batu kelar pak.”. Semuanya hanya saya jawab sengan senyum sambil berkata “ Ya saya coba saja Pak, Insya Allah bisa.” Ada keraguan juga di hati, tapi tekad sudah bulat. Jambu harus tertanam.
Akar demi akar, batu demi batu satu persatu tersingkir dari tempatnya. Tak terasa tumpukan tanah galian juga sudah mulai menggunung. Akhirnya pokok pohon rebah juga. Tidak perlu dua hari atau bahkan seminggu, ternyata hanya beberapa jam saja. Dan sekarangpun Pohon jambu sudah menggantikan posisinya. Selesai semua, ketika cuci tangan tangan terasa perih dan saya baru menyadari bahwa tangan saya banyak yang lecet dan bahkan berdarah. Yang saya heran pada saat menggali terlalu asyik "menikmati proses". Sayapun hanya bisa berharap agar bisa hidup, berbuah dan tidak perlu mengecewakan orang lagi.
Hikmah yang dapat diambil adalah :
1. Beranilah meninggalkan comfort zone untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar, lebih berarti. Pohon bintaro yang rindang adalah sebuah comfort zone.
2. Keterbatasan peralatan atau sarana serta keadaan bukan alasan untuk tidak ACTION dalam mengejar mimpi. Yakin akan tujuan dan konsisten.
3. Hambatan dan rintangan pasti akan muncul dalam perjalanan (seperti akar dan batu), tapi yakinlah bahwa itu akan teratasi.
4. Hati hati dengan orang orang disekitar kita, karena kadang kadang merekalah yang mengendorkan semangat kita (seperti 4 orang yang berkomentar).
5. Ketika kita menikmati proses dan punya keyakinan kuat, beratnya perjuangan dan "berdarah darah" menjadi tidak terasa. Justru kakan disadari ketika telah melalui proses itu. Dan disitulah indahnya sebuah proses.
6. Kita hanya berusaha, Allahlah yang menentukan (Let it God).
Semoga bermanfaat.
Salam FUNtastic